Ketulusan pada matahari
Dia memandang jauh ke arah barat. Guratan merah dan jingga yang sangat indah menghiasi ufuk saat sunset berlahan tenggelam seakan ditelan bumi. Hatinya gundah. Kesedihan terpancar dari bening matanya. Nanar. Keindahan itu akan hilang....warna-warni itu akan berubah menjadi kegelapan. Seakan dia takut ini akhir dari keindahan itu. Seakan tak akan ada lagi hari esok, setelah dia memejamkan mata. Rambutnya yang hitam bagai arang kayu menari dalam belaian dingin angin malam. Bertekuk lutut di atas hamparan padang hijau. Napasnya sepenggal dipasung kepasrahan akan kesedihan. Merebah dengan pandangan kosong. Menengadah memandang langit. Sesaat sebelum dia memejamkan matanya di tercengang. Sesuatu yang membuat dia kembali menarik tepi bibirnya. Ada cahaya-cahaya kecil yang menari di atas sana. Dengan keceriaannya dan kepolosannya menghibur dengan taburan cahayanya. "Lihat. Mereka datang satu persatu dan menjadi seperti kawanan kunang-kunang yang bersinar di atas pucuk-pucuk daun padi di sawahku. Inikah bintang yang sering diceritakan orang-orang kapadaku?". Lesung pipinya manis menghiasi setiap tawa kecilnya. Bintang terus menari...dan "Coba lihat. Itukah rembulan yang sering diceritakan orang-orang kepadaku? Betapa indahnya dengan warna putih seperti seorang bidadari yang tersenyum lembut padaku" Dalam keceriaannya dia melupakan kesedihan akan mataharinya. Tertidur dia dalam pelukan bulan dan ditemani taburan bintang-bintang. Dan saat matahari muncul kembali, matahari akan merasakan kehilangan 1 jiwa yang dengan setia menunggunya hingga maut mengambilnya.
Label:
Jiwa yang menari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar